BUNGO – Stigma negatif Suku Anak Dalam (SAD) di wilayah Provinsi Jambi masih menjadi persoalan sosial tersendiri hingga hari ini. Komunikasi yang masih terbatas menjadikan anggapan mereka adalah komunitas yang liar, menakutkan dan termarjinalkan.
Padahal, konstitusi negara kita menyatakan ada hak-hak dasar yang harus dipenuhi mereka sebagai warga negara. Seperti; pendidikan hingga kesehatan. Sebab itulah, perlu peran serta masyarakat luas termasuk pendidikan tinggi untuk menyelesaikan persoalan seperti ini.
Hal itu dibahas saat kegiatan “Inklusi Goes To Campus” dalam upaya menciptakan ruang penerimaan dan kesetaraan yang lebih luas pada komunitas SAD. Kegiatan itu digelar Rabu (1/3/2023) di Aula Universitas Muara Bungo, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi. Kegiatan ini digelar Pundi Sumatra yang didukung Kemitraan Partnership, termasuk Kreasi Prasasti Perdamaian (KPP).
“Kalau mendengar SAD kayak gimana gitu, stigma negatif masyarakat kita masih sangat besar kepada SAD. Mereka punya persoalan administrasi kependudukan, bayangkan WNI tidak punya adminduk? Dampaknya tidak bisa mengakses layanan dasar mulai dari sekolah hingga kesehatan, ” ungkap CEO Pundi Sumatra Dewi Yunita Widiarti pada acara itu.
Fokus gerakannya, sebut Dewi, tidak hanya persoalan SAD ini, namun juga meliputi dukungan pengembangan ekonomi yang inklusif, konservasi hingga perlindungan satwa liar.
Salah satu fasilitator Pundi Sumatra, Yori, bercerita tentang bagaimana dirinya bisa diterima dengan baik oleh SAD. Dia sudah 2 tahun terakhir tinggal bersama komunitas itu.
“Jadi ke pengembangan ekonomi alternatif, di sana ada ikan asap, kolam ikan. Warganya sangat terbuka. Misalnya ada anggapan kita meludah mereka akan ngikut, tetapi tidak saya alami, itu mitos. Kami diterima dengan baik di sana, ” sambung Yori.
Pendidikan “Tidak Penting”
Pada kegiatan itu sempat diramaikan dengan pemutaran film dan diskusi. Film yang diputar berjudul “Pulang Rimba” karya KPP, disutradarai Rahmat Triguna.
Mamato, sapaan Rahmat Triguna, menyebut film yang digarap tahun lalu ini berkisah tentang Mt. Pauzan (24) Orang Rimba alias SAD yang bisa bersekolah hingga jenjang pendidikan tinggi. Saat ini Pauzan kuliah di Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan) Bogor. Pauzan tinggal di Desa Air Panas, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi.
“Pauzan adalah credible voice, yang mengalami langsung. Kami berangkat dari empati untuk membuat film ini. Anak-anak di SAD sebagian kecil saja yang bersekolah apalagi sampai berkuliah, ” katanya yang juga jadi pemateri.
Data dinas sosial setempat, hingga Juli 2022, dari sekira 4.000 Orang Rimba, hanya 117 yang bersekolah, 4 di antaranya berkuliah. Pauzan yang ini duduk di Semester V Jurusan Penyuluhan Pertanian Berkelanjutan Polbangtan Bogor bertekad menyelesaikan kuliahnya, mengejar gelar Sarjana Terapan Pertanian (S.Tr.P). Jika lulus nanti, Pauzan akan jadi generasi pertama Suku Anak Dalam yang bisa menyandang gelar sarjana.
Di salah satu dialog di film itu, ada ungkapan dari Rudiana yang tak lain adalah ibunda Pauzan. Dia mengemukakan di SAD pendidikan masih jadi sesuatu yang tidak penting.
“Untuk apa sekolah, nggak bakal jadi orang, ” ungkap Rudiana menceritakan anggapan sebagian besar SAD tentang pendidikan.
Namun demikian, Pauzan sebut Rudiana, tetap bersemangat sekolah meski kerap diejek sebayanya. Pauzan sempat 2 tahun berhenti di kelas 3 SMP, kemudian akhirnya menamatkan SMP, lanjut SMK di Yogyakarta dan kuliah di Bogor.
Pada kegiatan itu juga hadir salah satu perempuan keluarga Orang Rimba alias SAD yakni Yuliana.
“Sampai sekarang masih ada ritual adat yang rutin dilakuan, Tari Pedeti, persembahan untuk salah satunya mandikan anak, ” cerita Yuliana.
Wakil Rektor III Universitas Muara Bungo Khairun A. Roni sempat bercerita tentang kasus mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Jambi yang Kuliah Kerja Nyata (KKN) di komunitas SAD.
“Lokasinya di Kubu Kandang, mereka panggil kubu, kubu. Ini didengar tetua adat di sana, mereka didenda, ” cerita Khairun yang juga tampil di podium.
Rektor Universitas Muara Bungo Supriyono mengemukakan pihaknya memberi peluang SAD untuk kuliah di kampus yang dipimpinnya dengan biaya gratis.
“Tapi syarat dan ketetntuan berlaku, misalnya nggak boleh nanti cuma sampai semester 3 terus keluar, harus sampai tamat. Ke depan kita terima (mahasiswa) dari SAD, ” tandas Supriyono saat membuka kegiatan pagi itu.(Dya)